Sebuah pengalaman menarik dari Bpk. Rijal MZ;

Tadi pagi bersama keluarga saya sarapan di warung mobil “Sedep” di Jl. Jemursari Surabaya. Di pinggir jalan sebelum RSI Jemursari itu, pasangan suami istri memanfaatkan mobil Luxio-nya sebagai warung berjalan. Jualannya pecel ala Nganjuk. Rasanya enak, pedes. Mereka dibantu kedua putrinya. Potret keluarga kecil yang kompak berusaha.

Pak Supri, pemilik warmob alias warung mobil “Sedep” bercerita kalau dirinya hanya jualan di hari Ahad saja. Selain hari libur ini keduanya kerja di luar. Bu Umi, istrinya, kerja di parbik kretek HM. Sampoerna. Sedangkan Pak Supri kerja di pabrik minuman kemasan internasional sejak 1993.

Pak Supri membuka warmob saban Ahad sejak Nopember 2015. Alasannya, dirinya harus mempersiapkan sekoci ekonomi apabila diberhentikan dari pekerjaannya sewaktu-waktu. Beberapa sahabatnya diPHK mendadak, Sabtu ditelepon HRD, diminta menghadap Senin, Selasa sudah diberhentikan. Ngeri-ngeri sedap. Beberapa sahabatnya stress, karena selain di-PHK mendadak, juga belum siap mental membuka lahan ekonomi baru atau bahkan melamar kerja di perusahaan lain.

Melihat kenyataan ini, Pak Supri bersiap-siap. Dia tak mau depresi dan menularkan stresnya ke keluarga kecilnya–apabila pemecatan terjadi. Jadi, saat ini dia bekerja sekaligus melatih mental dirinya, istrinya, dan anak-anaknya apabila hari kelabu yang tak diinginkannya datang.

Ilustrasi

Ilustrasi

Pak Supri adalah potret kelas menengah Indonesia yang, dalam penelitian Prof. Gerry van Klinken, memiliki pola pikir taktis dan praktis di bidang ekonomi,–khususnya industri–, menciptakan peluang-peluang baru apabila kepepet dan cukup konservatif dalam perilaku keagamaan keseharian.

Pak Supri secara taktis mempersiapkan sekocinya. Dan, untungnya mulai membuahkan hasil. Ini sama persis dengan kisah seorang buruh pabrik lampu Phillips di Surabaya yang di-PHK. Tak mau meratapi nasib, dia membuka warkop sederhana di teras rumahnya. Tak lupa, dia sertakan daya tarik berupa televisi, koran, free-wifi. Kini, ia pendapatannya lebih baik dibanding saat menjadi karyawan pabrik. Di level lain, ada fenomena ribuan pengemudi Gojek yang merasa pendapatannya meningkat sejak bergabung dengan perusahaan ini dan memiliki waktu lebih banyak bersama keluarganya.

Hingga sekarang, saya meyakini apabila di antara bangsa di dunia yang tangguh dan “kuat menderita” (hahaha) serta cerdas mencari solusi tak terpikirkan, adalah kita, orang Indonesia. Dihisap selama lebih tiga abad juga masih haha-hihi, kawin mawin dengan bahagia, dan ngudud kretek dengan ekspresi kenikmatan tiada tara.

Banyak buruh di-PHK? Jangan khawatir. Bakal ada peluang bisnis yang tak terpikirkan sebelumnya. Itu kalau orangnya mau berusaha menjebol gengsi dan belajar ke orang lain. Jualan ini-itu, melayani jasa A, B, C, dan lain sebagainya. Pasti ada rezeki. Apalagi dalam benak kebanyakan orang Indonesia jenis rezeki ada dua: penghasilan tetap dan ceperan. Nah, dari pembagian konsep ini niscaya kita bakal menemukan manusia Indonesia dengan penghasilan tetap tak seberapa bisa mengkredit motor sampai mencicil panci.

Dari keterbatasan-keterbatasan yang ada pun selalu ada peluang bagi orang Indonesia, dari kelas atas hingga kaum alit. Profesi calo, misalnya. Dari makelaran penjualan aset negara sampe makelar mikrolet semua ada di sini. Lebih spesifik ada pula peluang ekonomi yang entah terinspirasi dari mana, dan hebatnya ada saja yang menjadi pengguna jasa/pelanggan/pembeli: dari tukang timbang badan dan tukang ukur tensi darah keliling, tukang isi korek api dan ganti baterei jam/arloji, pawang hujan+ular+buaya, penjinak jin, sampai tukang “sulap” lampu mati dihidupkan dan dijual kembali. Betapa kreatifnya orang Indonesia.

Ini kekayaan karakter. Di Eropa, pecatan perusahaan hanya bisa ngelimpruk. Mereka hanya bisa melamar ke perusahaan lain, yang bi(a)sanya juga menolak. Paling banter mereka mendemo pemerintah yang tetap saja pusing memulihkan ekonomi. Selain itu? Nunggu ada lowongan lagi. Ini yang terjadi saat ekonomi Yunani kolaps. Tak ada terobosan kewirausahaan dadakan nan nekat ala warga negara kita.

Jadi, soal perkara daya tahan dan terobosan kreatif, orang kita diam-diam menyimpan potensi. Tinggal menempatkan orang-orang kita dalam posisi terdesak, niscaya the power of kepepet bakal nongol.

Wallahu A’lam