Banyak mitos gerhana matahari total yang beredar di masyarakat Indonesia. Hampir semuanya merupakan anjuran yang cukup bijak.

Bahkan pada masa kepemimpinan Soeharto, warga dilarang untuk melihat GMT secara langsung yang terjadi di wilayah Papua, Sulawesi, dan Jawa pada tanggal 1983 dengan alasan efek cahaya yang dapat meyebabkan mata buta.

mitos gerhana matahari total vs penjelasan ilmiah mediamuda.com update

Saat itu, banyak warga yang sangat takut akan gerhana matahari total. Jendela dan pintu rumah ditutup rapat saat GMT berlangsung. Bahkan untuk melihat cahaya yang masuk ke rumah, juga tidak dianjurkan untuk dilihat.

“Iya, dulu gerhana (matahari total) sangat menakutkan. Pintu sama jendela ditutup. Ada juga yang keluar, trus lihat ke kolam untuk melihat gerhana. Tapi tidak ada yang berani, takut buta.” kata Nur (55).

Di Jawa dan Bali, masih kental dengan mitos yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan sosok Batara Kala. Digambarkan sebagai raksasa yang menelan Matahari dan Bulan saat terjadi gerhana. Dan selanjutnya dimuntahkan kembali.

Masih banyak juga mitos lainnya. Sekarang kita simak bagaimana penjelasan ilmiah tentang Gerhana Matahari Total. Dikutip mediamuda.com dari laman BBC.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin mengatakan fenomena gerhana ini tak lepas dari mitos tradisional itu dan mitos modern bahwa akan membuat mata buta. Menurut Thomas cahaya matahari ketika gerhana dan sehari-hari sama bahayanya, jadi disarankan hanya melihat secara sekilas saja.

“Tidak boleh terlalu lama karena bisa membahayakan mata, terutama ketika proses gerhana terjadi, tetapi ketika fase total justru aman untuk mata,” jelas Thomas.

Dia meyarankan agar masyarakat yang ingin melihat gerhana menggunakan kacamata matahari yang bisa meredupkan cahaya matahari 100.000 kali. Alat lain yang dapat dipakai yaitu kacamata hitam, bisa membantu meredupkan cahaya matahari, kaca dengan jelaga, atau disket.

“Atau bekas film rontgen dan fotografi itu bisa digunakan untuk melihat proses gerhana itu harus hati-hati dan tidak bisa terlalu lama,” jelas Thomas.

Tetapi setelah 33 tahun, masyarakat dan pemerintah kini antuasias menyambut gerhana, termasuk Belitung. Pemerintah daerah yang dilintasi gerhana matahari total menyiapkan sejumlah acara, dan melihat keuntungan ekonomi yang sangat besar dari fenomena alam yang langka ini.

Gerhana matahari merupakan peristiwa di mana posisi Bulan, Matahari dan Bumi sejajar dan berada pada garis lurus.

Thomas mengatakan gerhana matahari total baru dapat melintasi daerah yang sama dalam kurun waktu sekitar 300 tahun.

“Kecuali memang ada daerah yang beruntung seperti Sumatera Selatan dan Bangka itu mendapatkan gerhana pada 18 Maret 1988, kemudian 9 Maret 2016 itu berulangnya itu 28 tahun, kalau gerhana matahari sebagian sering, ini yang total kalau seperti Jawa berulangnya secara rata-rata itu di atas 300 tahun sekali,” jelas Thomas.

Kacamata gerhana aman untuk digunakan melihat gerhana matahari total.

Saat itu Bulan akan melintas di antara Matahari dan Bumi, untuk beberapa waktu cahaya Matahari ke Bumi akan terhalang bayangan Bulan. Ketika fase total itu terjadi bulan menutupi Matahari, korona Matahari akan tampak seperti menjulur dari pinggir bagian yang ditutupi Bulan.

Menurut Thomas, gerhana matahari total pada 9 Maret unik dari segi aspek lintasan dan lebih banyak dinikmati di dataran dibandingkan peristiwa yang sama sebelumnya.

“Gerhana Matahari Total akan bergerak Lautan Hindia di Pulau Pagai Selatan di Sumatera Barat kemudian melewati sejumlah provinsi dan berakhir di Samudra Pasifik dekat Hawaii AS,” jelas Thomas.

Seluruh proses gerhana matahari akan terjadi pada pagi hari sekitar 2-3 jam, fase totalnya hanya sekitar 1,5- 3 menit.

Meski gerhana matahari sudah ada sejak Bumi dicpitakan pada 4,5 milliar tahun yang lalu, bagi astronom, peristiwa Gerhana Matahari total sangat penting untuk meneliti mengenai bintang tersebut seperti dijelaskan oleh Bambang.

Gerhana matahari total akan terjadi di daerah yang sama, rata-rata sekitar 300 tahun kemudian.

“Tetapi masalah yang bertautan dengan fisik matahari, bertautan dengan hubungan Matahari – Bumi, berhubungan dengan atmosfer Bumi itu yang belum semuanya terpecahkan,” ungkap Bambang. “Kenapa harus menunggu gerhana matahari, beberapa alat modern memang bisa menstimulasi korona, matahari diblok tidak bisa dilihat, tetapi beberapa peristiwa terjadi pada saat gerhana bisa direproduksi dengan cara demikian.”

Tak heran jika fenomena ini selalu diburu oleh para astronom dan peneliti, bahkan juga penikmat gerhana.

“Passachof (pakar astronomi) menerangkan instrumen canggih yang bisa dibawa ke tempat gerhana matahari belum tentu bisa dibawa pesawat ruang angkasa. Oleh karena itu, masih ada kesempatan bagi ilmuwan yang ada di Bumi untuk menjawab pertanyaan bertautan dengan produksi energi di matahari, produksi panas di korona, lalu perubahan magnet matahari, itu tak bisa dilakukan di ruang angkasa tetapi harus diamati di permukaan Bumi,” jelas Bambang.

Selain meneliti, edukasi juga akan dilakukan kepada masyarakat sekitar, seperti disampaikan Avivah Yamani dari komunitas astronom langit selatan, yang akan mengamati gerhana matahari di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara.

“Event seperti ini kami gunakan untuk mengedukasi masyakat untuk mengenal astronomi, sains dan juga budaya, kenapa budaya karena kita punya banyak sekali folklore tentang cerita pengantar tidur, dongeng yang dibangun dari kepercayaan masyarakat zaman dulu itu kita gunakan untuk memperkenalkan matahari itu sendiri, kita bisa jelaskan kenapa matahari bisa menghilang,” jelas Avivah.

Di beberapa daerah seperti Jakarta dapat menyaksikan gerhana matahari sebagian.

Maba merupakan tempat pemantauan Gerhana Matahari Total terlama yaitu 3 menit 17 detik. Sejak tahun 1900 wilayah Indonesia telah dilintasi sekitar 10 Gerhana Matahari Total, yaitu :

  • 18 Mei 1901 ( di Sumatera Barat, Jambi, Kalbar,Kaltim, Sulteng dan Maluku),
  • 14 januari 1926 (Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalbar),
  • 9 Mei 1929 ( Aceh dan Sumatera Utara),
  • 13 Februari 1934 ( Sulawesi Utara dan Maluku Utara)
  • 4 Februari 1962 (Palu dan Papua),
  • 11 Juni 1983 ( Jawa Tengah, Jawa Timur , Sulawesi Tenggara dan Selatan, Papua),
  • 22 November 1984 (Papua),
  • 18 Maret 1988 (Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka),
  • 24 Oktober 1995 ( Sangihe, Sulawesi Utara), 9 Maret 2016.

Gerhana Matahari Total akan kembali melewati wilayah Indonesia pada 20 April 2023 ( Makassar dan Papua) serta pada 19 April 2042 ( Jambi) dan 24 November 2049 (Jakarta).

Jadi, untuk Anda yang sekarang hidup di jaman modern, sepertinya mitos agak diabaikan. Namun bijaksanalah untuk menikmati fenomena alam ini. Jangan sekali-sekali melihat gerhana matahari total secara langsung demi kesehatan mata Anda.