Boleh dong saya sebagai admin mau share pengalaman pribadi ketika melakukan perjalanan sendirian tanpa rencana. Kalau ga boleh ga papa, tapi kalau anda mau mendengarkan cerita saya selama 7 hari 7 malam melakukan plesiran sendirian ( bahasa gaulnya solo traveling ) dari rumah dan akhirnya balik lagi ke rumah tanpa perencanaan matang. Oke saya mulai dari awal keberangkatan di hari jum’at sore.

Kenapa sih harus jum’at? saya pernah mendegarkan cerita orang tua bahwa ketika hari jum’at itu adalah hari baik untuk memulai sebuah perjalanan.

Kemudian terfikirkan untuk melakukan traveling, oops uang seadanya dan status saya saat itu masih sebagai pengangguran. Dari pada jenuh di rumah saya memutuskan untuk berpetualang dan ketika sore hari tiba setelah sholat jum’at akhirnya saya berangkat dari rumah untuk sekedar menikmati pemandangan indah di Wonosobo.

Hari Pertama : Temanggung-Wonosobo-Purwokerto

Naik bus dari Parakan (salah satu kecamatan di Kab. Temanggung) naik bus lupa mereknya apa yang pasti bus tersebut tidak manusiawi.

Kursi ala kadarnya, musik pun musik alami dari suara getaran mesin, suare rem bis, dan goncangan kaca. Namun entah mengapa masih saja banyak penumpang.

Kanan kiri pemandangannya sungguh indah, namun bagi saya sih biasa saja soalnya saya juga termasuk ‘wong nggunung’. Namun ketika sampai di Wonosobo saya memutuskan untuk melanjutkan tujuan ke tujuan tearkhir bis karena waktu itu sudah mulai gelap.

Duduk di urutan paling belakang, Kernet, Saya, Pengamen mabuk yang mau pulang, Tante-tante aneh, Salesman, Pak Tua penjual keranjang. Kombinasi yang sangat sempurna.

Pak Tua di pojokan mulai menyulut api, kernet pun sama, pengamen teler seperti orang gila ngomong sendiri, salesman nggak nawarin produknya entah takut atau juga menyangka kita yang dibelakang kagak punya duit… padahal beuh… gak salah, ops.

Sementara korban yang harus dieliminasi adalah tante yang pindah kursi dengan sendirinya.

Perbincangan pun dimulai ketika saya meminjam korek pada kernet dan ia bertanya : “mas ini mau kemana sih”? saya jawabnya “ke mana aja pak”. Nanya lagi “kerja, kuliah, atau apa?”, “Apa saja pak, tapi ga lagi kerja dan nggak lagi kuliah”.

Sementara si teller mengagetkan kita ketika bis sedang menyalip kendaraan ia merasa dirinya lah yang menjadi supir bis dengan menggerakkan tangganya layaknya Mickael Schumacher dan suara brumm brumm keluar dari mulutnya.

Si pak tua hanya melirik sebentar sambil sedikit tersenyum yang terlihat ompongnya, sedangkan salesman terlihat muram karena dagangannya belum laku juga.

Kita dibelakang seperti layaknya broadcasting yang sendang berdiskusi dengan suara lantang dan tertawa lepas, begitu nikmatnya hidup ini sampai akhirnya saya turun di Purwokerto.

Sampai disana saya menemukan teman dan bermalam disana. Makanan pun tersaji melimpah, inilah rejeki buat saya. Namun bencana datang, saya merasakan demam karena kedinginan dibus tanpa menggunakan jaket.

 

Hari Kedua : Sabtu di Purwokerto

Ketika badan sudah mulai membaik, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan lagi.

Bukan pulang melainkan pergi ke Tangerang dengan uang 100 ribu di tangan.

Bus yang paling popular disitu adalah Sinar Jaya, tapi tiketnya 85 ribu, sedangkan disebelahnya ada bus Laju Utama dengan tiket 70 ribu. Dalam hal memilih, bagi saya “Harga nggak masalah, yang penting MURAH” akhirnya saya pilih Laju Utama.

Gila, ini bus keren abis… cepet banget, sopirnya kayak setan, dan sepertinya emosional soalnya udah nunggu di terminal Purwokerto sudah sejam lebih penumpangnya cuman 9 orang, buat tim sepak bola aja masih kurang.

Kasihan juga sama supirnya.

 

Hari Ketiga : Minggu di Pasar Rebo Jakarta

“Lho pak supir kok saya diturunin sini, saya kan udah pesen tiket sampai tangerang?” kata saya, kemudian Pak Supir bilang “Iya bro, bisnya rusak”.

Setelah semua penumpang turun dan rasa penasaran saya, saya pun tanya lagi dan menemukan fakta bahwa bus tersebut dari Purwokerto dalam keadaan rusak sejak awal dan sengaja memperbaikinya di Jakarta.

Rasa iba ane hilang, berubah jadi komplain “pak, gimana pak saya nggak bisa sampai tangerang… duit saya pas-pasan dan bus mana yang harus saya naiki juga nggak tahu”.

Akhirnya entah ketakutan atau pak supir yang iba pada nasib saya kemudian ngasih duit 10 ribu ke saya.

“Apa cukup ni pak sampai tangerang? kalo kurang gimana?”, pak supir pun menimpali “Nih 5 ribu lagi, kayak preman aja sampeyan… tuh naek bus warna ijo yang dipinggir jalan”.

Menuju Tangerang ongkos ternyata 10 ribu, sisa 5 ribu lumayan buat beli bubur dipinggir jalan.

Masih di hari yang sama terlihat begitu sibuknya orang kota, tak ada sapaan sama sekali.

Berjalan lurus sampai memasuki lobi hotel dan keluar lewat gerbang belakang karena berjalan saja saya nyasar dan dicurigai satpam. Saya tak ingin menginap di hotel, karena ada teman yang ada di kota ini, dan yang jelas, nggak ada uang.

Langsung lanjut TKP dengan angkot 01. Sebenarnya naik angkot dikota ini menyenangkan, bareng sama cewe-cewe cantik dan seksi, wangi lagi, entah itu pegawai bank, mahasiswi, buruh pabrik, lengkap deh.

Namun sayangnya saya kurang berani kali ini setelah tak sengaja melihat cermin di kaca mobil, muka ane seperti baru kesembur naga yang di Indosiar, kucel abis.

 

Hari Keempat : Eksplorasi Kota Tangerang

Bertemu teman lama, saudara, dan kerabat lain sambil berkeliling dengan kendaraan roda dua yang saya beli. Motor seken yang penting bisa jalan yang saya beli beberapa tahun yang lalu saya titipkan. Sebelumnya, saya telah habiskan waktu untuk bekerja sekitar 3 tahun di Tangerang.

Nongkrong sana-sini, dan perbuatan yang nggak jelas banget yang tak perlu disampaikan disini. Sebenarnya ingin juga nyari kerja disini lagi, tapi ya sudahlah besok aja kapan-kapan. Akhirnya saya memilih untuk persiapan pulang.

 

Hari Kelima : Bawa Harta Karun

Berbekal motor BMW ( Bebek Merah Warnanya ) masih ditambah beberapa barang yang saya dapatkan di sana untuk dibawa pulang. Tak tanggung-tanggung isinya segede gunung.

Duduk sejenak mencari inspirasi dan ide bagaimana barang sebanyak itu saya bawa dengan motor, padahal jarak yang ditempuh lebih dari 500 km. Dan benar inspirator itu ada didepan mata, dia adalah super-salesman idolaku.

Saya tanyakan beli dimana, dari bahan apa, dan berapa harganya. Ternyata harga rata-rata 100-150an ribuan.

Masih berpegang teguh pada pedoman saya

“Harga bukan masalah, yang penting MURAH”.

Berkeliling, akhirnya saya menemukan oase di padang pasir. Penjahit terpal, saya melihat setumpukan terpal yang mirip dengan tas motor yang dipakai salesman. Saya tanyakan ternyata dikasih harga 40, barangnya pun oke. Saya tawar sekali saja langsung dikasih, soalnya saya nawar dengan harga 40 ribu.

Ketika berpamitan, banyak yang menyarankan untuk dipaketin saja. Setelah saya berdiskusi sejenak dengan “super-ego” yang saya miliki, ternyata tetap tak merubah keinginan saya mengendarai motor dengan tas bermuatan di samping kiri, kanan, atas dan depan.

Langsung saya starter motor dan…. tidak nyala, ternyata aki nya tekor. Alternative nya kick starter, dan jalan… My Home, I’m Coming.

 

Hari keenam : Riding on the road like a salesman

Just lika a salesman? yes, saya baru menyadari ketika perjalanan sampai di bekasi pukul 12 siang ketika makan di warung nasi.

Biasanya menu dengan 3 macam lauk ( ayam, sayur, dan sayur lagi ) + kopi sekitar 15 ribuan. Tapi heran kenapa bisa cuman 11 ribu saja.

Ternyata ibu yang jual itu sepertinya ngasih murah. Dia menyangka saya adalah salesman yang berjualanan di tengah himpitan ekonomi demi anak istri yang dirumah.

Sampe nggak teganya ibu itu bilang, “kemahalan gak bang”?,  “nggak lah bu, wajar kok” jawab saya sambil mengusap keringat, kepedesan. Saya bayangkan jika memakai baju rapi dan berdasi, pasti bayarnya bisa 15 lebih.

Tersenggol, diklakson, dan khawatir jatuh karena beban dibelakang membuat saya ikut merasakan bagaimana kerja keras seorang salesman.

Keluhan stress pengendara motor yang ingin segera menuju kantor mereka yang terjebak macet belum seberapa dibanding salesman.

Mulai saat itu juga saya termasuk orang yang mengapresiasi pengendara motor bermuatan seperti salesman, pak pos, dan lainnya. Mungkin tahun depan saya berharap Presiden Jokowi menetapkan hari “Pengguna Motor Bermuatan”.

kondisi outdor galaxy k zoom

Sempat ditabrak mobil di persimpangan jalan di Bekasi, Alhamdullillah tidak sampai jatuh.

Bekasi – Indramayu tak cukup dengan 5 jam lebih 5 jam alias 10 jam. Bener-bener apes, jalanan parah. Waktu itu kondisi jalan terparah yang pernah saya lihat di pantura. Mungkin bila lubang yang ada di pantura dikasih air trus ternak lele bisa menghasilkan lele berkwintal-kwintal.

Macet? otomatis, motor pun agar lebih cepat harus di pinggir luar aspal. Tanpa muatan sih gak masalah, tas ini membunuhku.

Disitulah tantangannya, layak nya Einsten degan rumus E sama dengan MC kuadrat saya mengukur lebar tas terpal yang dibelakang dan seberapa lebar kaki saya harus dijulurkan agar sama lebarnya. Intinya jika saya julurkan kaki, pas, berarti masuk. Dan tak menyangka saya berhasil dan banyak yang mengikuti langkah roda ini memutar. Awesome.

Cirebon, saya ada teman disini. Namun sepertinya bukan teman baik, lanjut ke Pekalongan.

Pekalongan, saya juga ada teman disini. Tapi sudah malam, waktu itu pukul 02.00. Dan tak sadar ini sudah memasuki hari ke tujuh.

 

Hari Ketujuh : Rintangan Sesungguhnya.

Masih di pekalongan, tiba-tiba motor mati, ternyata bensin sudah habis, indikator bahan bakar sepertinya malfungsi.

Tak seorangpun yang ada disitu, saya berencana untuk bermalam saja. Namun ternyata malam jum’at ini tak bisa buat memejamkan mata.

Tiba-tiba ada sesosok pria sepayuh baya menghampiri.

Bertanya “lagi ngapain”, “saya lagi istirahat pak, motor juga kehabisan bensin” saya jawab. Kemudian dia mengaku dirinya adalah tukang ojek, usut punya usut ternyata dia tukang ojek sungguhan.

Tukang ojek tersebut mengakan kalau pom bensin jauh sekitar 2 km, mana mungkin saya dorong motor.

Nego pun terjadi, beli bensin 10 ribu, ongkos ojek 20 ribu, deal. Ojek pun melaju ke spbu tersebut dan tak lama berselang langsung sampai. Akhirnya motor saya pun hidup lagi.

Saya mengira tukang ojek itu pembalap, motornya cepet kayak Pedrosa.

Namun ternyata setelah beberapa meter berjalan di situ jelas SPBU, saya tak menyangka jaraknya hanya selemparan batu dari tempat saya mogok. Soalnya letak spbu itu tikungan pas. Oghh,

Weleri-Temanggung, Lagi-lagi ada sebuah pelajaran yang sangat berharga disini.

Jika kita melihat pedagang saling bersaing, berbeda dengan pengguna motor bermuatan. Kali ini saya melihat beberapa motor bermuatan sayur, tidak pakai tas lagi tapi seperti lemari, lebih lebar, lebih berat.

Motor saya lampunya mulai redup, jalan rusak dimana-mana.

Penjual sayur tadi memberi isyarat agar saya mengikutinya dari belakang karena dia paham jalan situ dan lampunya lebih terang. Saking lincahnya dia melaju cepat, namun merapat lagi ketika jarak melebar.

Saya baru tahu betapa kuatnya solidaritas pengendara motor bermuatan.

Itulah akhir perjalanan yang berbekal dengan seadanya (berangkat : tas berisi alat mandi dan sempak, pulang : sama ditambah pc sebelah kiri, monitor sebelah kanan, speaker diatas ) dan pelajaran beharga saya dapatkan lagi yaitu semua barang elektronik tadi rusak sampai rumah.