Bagi warga Pekanbaru, Kedai kopi Kim Teng tentu tidak asing untuk menjadi teman sarapan di pagi hari maupun duduk santai di sore hari. Kedai Kopi Kim Teng di Jalan Senapelan, Pekanbaru buka mulai pukul 06.00 -18.00 WIB ramai dengan pengunjungnya. Dalam sehari menghabiskan 4 kilogram kopi bubuk dengan omset rata-rata Rp3 juta.

Sumber : riaupos.co Laporan ABU KASIM, Pekanbaru

Usaha kedai kopi ini makin berkembang, sejak 2002 kedai kopi yang dulunya bernama Kedai Kopi Segar dan akhirnya dikenal dengan nama Kedai Kopi Kim Teng. Kini, sudah punya beberapa cabang di Pekanbaru, yakni di Jalan Senapelan (pusat), Mal Ciputra Lantai 2, Mal SKA, Perpustakaan Soeman Hs Lantai Dasar dan RS Awal Bros Pekanbaru.

‘’Usaha kedai kopi kita sangat lancar dan tidak ada hambatan berarti dan pengunjung yang datang terus ramai setiap hari. Ini berkat usaha keras dari leluhur kami yang membangun kedai kopi sampai menjadi terkenal sekarang ini,’’ ujar Hawi, pengelola Kedai Kopi Kim Teng di Jalan Senapelan, Pekanbaru.

Ia mengaku, usaha ini dirintis nenek moyangnya sejak 1970, waktu itu Kedai Kopi Kim Teng berada di Jalan Kota Baru, tak jauh dari Pelabuhan PT Pelindo dan pada 2001 barulah pindah ke Jalan Senapelan dan kemudian terus mengembangkan sayapnya di beberapa tempat di Pekanbaru.

Hawi menyebutkan, Kedai Kopi Kim Teng ini merupakan usaha keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Jika sebelumnya dikelola langsung oleh kakeknya bernama Kim Teng dan sekarang diserahkan kepada kedua orangtuanya, yakni Kaliono (67) dan Ilianti (62) dan dirinya selaku pengelola.

‘’Dari beberapa cabang itu semuanya di bawah Saya, tapi manajemen mereka sendiri-sendiri dan sekarang mempekerjakan 40 orang karyawan,’’ ujar Hawi yang sudah memiliki tiga orang anak.

Ia menyebutkan, sejak pindah di Jalan Senapelan pada 2001 dan setelah itu barulah berkembang dengan pesat. Juga seiring pengunjung yang datang cukup ramai dan tidak tertampung lagi, maka pada 2004 dibuka cabang di Mal SKA dan setelah itu pada 2008 buka cabang lagi di Mal Ciputra, Jalan Riau, dan 2010 di Perpustakaan Soeman Hs Jalan Sudirman dan terakhir dibuka di RS Awal Bros.

Menurut Hawi, dalam menjalankan usaha itu pihak pengelola kedai kopi Kim Teng tidak memproduksi kopi bubuk sendiri, melainkan diproduksi oleh keluarga yang lain dan kopi bulan jenis kopi Robusta ini didatangkan dari Jambi. Selama ini untuk ketersediaan bubuk kopi tidak ada kendala dan sehari mampu menghabiskan 4 kilogram kopi bubuk dengan omset rata-rata Rp3 juta.

‘’Kami khusus menjual air kopi dan roti bakar, sedangkan untuk makanan yang lain disediakan oleh pedagang lain. Untuk omset Rp3 juta ini hanya di Kedai Kopi Kim Teng Jalan Senapelan, sedangkan untuk cabang ada pengelola yang lain, ’’ ujarnya.

Tidak Menjual Kopi Bubuk
Meski kedai kopinya selalu ramai dikunjungi pencandu kopi, namun di Kedai Kopi Kim Teng ini tidak menyediakan kopi bubuk untuk dijual. Karena kopi yang dipasok melalui keluarganya yang lain, hanya untuk diminum saat kopi panas dan ditemani roti panggang. Namun jika ada pengunjung yang menginginkan kopi bubuk untuk dibawa pulang, pihak Kim Teng tetap memberikannya dalam jumlah terbatas.

‘’Kita tidak jual kopi bubuk, kita hanya menjual air kopi. Mungkin karena cita rasa kopi kita ini enak, sehingga setelah habis minum mereka ingin membawanya pulang. Makanya kita tetap melayani, tapi jumlahnya sedikit,’’ ujar Hawi.

Terkait berapa cangkir kopi yang di jual setiap harinya, Hawi mengaku tidak menghitungnya satu per satu. Ini karena jumlah pengunjungnya sangat banyak, sehingga dia hanya menghitung omset penjualannya, yang mencapai rata-rata Rp3 juta per hari.

‘’Saya tidak menghitung berapa cangkir per hari, karena pengunjungnya banyak,’’ ucapnya.

Ia juga mengungkapkan, kenapa racikan kopi bubuknya sangat digemari pengunjung, karena dalam biji kopi itu tidak ada campuran bahan yang lain pada saat dimasak. Jadi benar-benar kopi asli dan tidak ada campuran lain. ‘’Tidak ada campuran yang lain dan kopi kita asli, dan biasanya ada kopi yang dicampur dengan jagung, sehingga rasanya agak berbeda,’’ ujarnya.

Sudah Parkir Kendaraan Bermotor
Ramainya pengunjung rupanya membuat Hawi pengelola Kedai Kopi Kim Teng Jalan Senapelan ini resah. Pasalnya para pelanggannya sulit mencari ruang parkir. Apalagi setelah adanya Jembatan Siak III, sehingga parkir hanya dibolehkan untuk satu arah atau di sisi jalan bagian depan Kedai Kopi Kim Teng. Sehingga persoalan itu membuat kemacetan jalan, jika jumlah pengunjung sedang ramai.

‘’Memang parkir kendaraan menjadi kendala bagi kami, karena untuk parkir di jalan tidak dibolehkan lagi dua arah dan hanya bisa satu arah. Sedangkan untuk mencari lahan parkir yang lain sangat sulit dan semuanya sudah dipenuhi dengan ruko,’’ ujarnya.

Hawi hanya berharap, lahan parkir di komplek Masjid Raya Pekanbaru, jika nanti sudah selesai dibangun, maka pengelola komplek Masjid Raya mau bekerja sama untuk mengatasi parkir.

‘’Ya kita berharap nanti pengurus Masjid Raya mau diajak kerja sama untuk parkir, dan itu nanti akan menjadi pemasukan bagi masjid. Karena kita saat ini memang kesulitan untuk mencari lahan parkir yang lebih luas serta terjangkau dengan kedai kopi kita,’’ harapnya.

Hidup dari Keluarga Sederhana
Seiring dengan perkembangan kedai Kopi Kim Teng yang maju pesat, tentu tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Bagaimana leluhur Hawi membangun Kedai Kopi Kim Teng. Dulunya, pemilik Kedai Kopi Kim Teng ini adalah Tang Kim Teng, orang tua dari Kim Teng.

Tang Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir Kota Singapura, pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan ibunya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Cina.

Kim Teng sendiri pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.

Ketika berusia 4 tahun, dari Singapura, Kim Teng bersama keluarganya pindah ke Pulau Padang, Bengkalis. Ayahnya bekerja sebagai tukang masak camp di sana. Tak berapa lama, mereka pindah lagi ke daerah Siak Kecil, masih di Kabupaten Bengkalis. Di sini kerja Lung Chiu, ayahnya, serabutan. Tahun 1931, saat usia Kim Teng 10 tahun, keluarga putuskan pindah dari Siak Kecil ke Sungai Pakning. Di situ, mereka menumpang di sebuah rumah orang Cina kaya dekat kantor Bea Cukai.

Namanya Sun Hin atau biasa disapa Tauke Gemuk. Di sini, profesi Lung Chiu sama dengan di Siak Kecil, kerja serabutan. Tahun 1934 mereka pindah lagi ke Pulau Bengkalis. Waktu itu usia Kim Teng 13 tahun. Mereka juga sewa rumah sederhana di Jalan Makau-sekarang Jalan Hokian. Di Bengkalis Lung Chiu kerja jadi tukang masak di sebuah sekolah Tionghoa. Bagi Kim Teng, ayahnya seorang pekerja keras dan ulet.

‘’Leluhur kami adalah pekerja keras, dan inilah hasil kerja keras leluhur kami dan dapat kami rasakan,’’ ujar Hawi, cucu Kim Teng, yang saat ini mengelola Kedai Kopi Kim Teng, Jalan Senapelan.

Pada tahun 1935, Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Di sekolah ia belajar banyak hal. Karena sekolah pula ia tahu Belanda dan Jepang sangat kejam menyiksa warga pribumi. Jiwa nasionalismenya mulai tumbuh.

Setelah empat tahun Kim Teng di Pekanbaru, tepatnya pada tahun 1939, keluarganya pindah ke Pekanbaru. Kepindahan ini membuat kondisi ekonomi mereka semakin sulit. Ini memaksa Kim Teng berhenti dari sekolah dan mulai cari kerja untuk bantu ekonomi keluarga. Ia jadi tukang jahit. Kemudian alih profesi jadi pedagang gula tebu dan gula kelapa. Saat itu masih penjajahan tentara Jepang.

Sampailah pada tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep (Kepri) bernama Tjang Fei Poan. Dua tahun kemudian, putra pertama mereka bernama Kaliono Tenggana lahir. Tak berapa lama setelah itu, Kim Teng putuskan ikut berjuang aktif mempertahankan kemerdekaan.

Ia bergabung di Resimen IV Riau bagian Siasat Perang dan Perbekalan pimpinan Hasan Basri. Tugas utamanya, memenuhi permintaan sejumlah barang perbekalan, terutama senjata, alat peledak, pakaian tentara, sepatu, obat-obatan, dan perbekalan lainnya.

Pada masa Agresi Belanda I itu lahir putra kedua Kim Teng dan Fei Poan, tepatnya tahun 1947. Di penghujung perjuangannya, tahun 1949, lahir putri ketiga, Liliana Tenggana. Kelahiran Liliana menjadi tanda Kim Teng menutup lembaran perjuangannya. Tahun 1949 pula, melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia.

Otomatis Kim Teng jadi veteran pejuang ’45. Selain itu, ia tak lebih dari seorang pengangguran. Saat itu usianya 30 tahun dan harus menghidupi seorang istri serta tiga anak. Ia cari akal. Kemudian dapat jalan dengan membantu kakak keduanya, Tjun Lan, yang sudah lebih dulu buka usaha kedai kopi di Pekanbaru.

Usaha mereka terletak di Jalan Sago, di sebuah rumah sewa berdinding papan beratap daun rumbia berlantai tanah. Kedai kopi itu bernama Kedai Kopi Yu Hun. Kedai kopi umumnya dimiliki warga Tionghoa suku Hailam. Konon, kopi orang Hailam lebih nikmat rasanya.

Di tengah kesibukan mengurus kedai kopi, Kim Teng dan Fei Poan kembali dikaruniai dua anak perempuan. Satu lahir tahun 1951, yang satunya tahun 1953. Jadi mereka sudah punya lima anak. Tahun 1955, kedai kopi Yu Hun pindah ke sekitar tepian Sungai Siak.

Mereknya pun diganti menjadi Kedai Kopi Nirmala. Usaha kedai kopi sempat mandek saat peristiwa pemulangan warga Tionghoa ke Cina tahun 1959. Beruntung Kim Teng tak kena gusur ke Cina.

inspirasi usaha kopi

Setelah situasi reda, ia mulai buka usaha kedai kopi kembali. Namanya Kedai Kopi Segar. Saat itulah Kim Teng dan istrinya kembali dikaruniai anak. Tahun 1955 lahir anak lelaki bernama Tang Kok Sun. Setahun berikutnya lahir anak perempuan bernama Tang Lie Lian. Lie Lian menjadi anak bungsu Kim Teng dan Fei Poan